Temuireng - Jatinom. Di tengah rindangnya rumpun bambu dan sunyinya jalan desa yang baru diaspal, berdirilah sebuah bangunan tua yang tampak gagah dan penuh misteri. Delapan lengkungan batu yang kokoh membentuk semacam terowongan kecil di sisi tebing, seperti pintu-pintu yang menyimpan kisah masa lalu yang nyaris terlupakan. Inilah yang oleh warga sekitar disebut sebagai “kretek londo”, sebuah struktur yang diyakini berasal dari masa kolonial Belanda.
Menurut penuturan Kirno (60), salah satu warga Desa Temuireng, jembatan ini dulunya digunakan sebagai jalur lori pengangkut tebu. “Dulu Temuireng ini perkebunan tebu, Pak. Banyak taneman tebu, dan lori ini katanya ngangkut tebu ke pabrik gula di Gedaren, Jatinom sana,” ungkapnya sembari menunjuk arah utara, seolah membayangkan deru roda besi yang melintas di atas jembatan batu tersebut.
Bangunan jembatan itu sendiri terbuat dari batu kali dan susunan bata merah yang dipadu dengan teknik konstruksi ala Belanda. Lengkungan-lengkungan pintu di bagian bawah diduga sebagai fondasi dan struktur penyangga jalur lori di atasnya. Meski sudah tak berfungsi, kondisi bangunan masih sangat kokoh. Dindingnya dipenuhi lumut dan dedaunan bambu kering yang jatuh dari atas, namun aura keanggunannya tetap terasa.
Yang menarik, bangunan ini kemungkinan besar menyambung dengan tiang jembatan yang berada di pinggir jurang bagian utara Desa Temuireng. Jika ditarik garis lurus, tiang tersebut seolah mengarah ke Desa Kayumas di seberang jurang—menunjukkan adanya jalur lori yang membentang antardesa. Sayangnya, tidak ada saksi sejarah yang benar-benar hidup di masa operasional jembatan ini, sehingga banyak informasi yang bersifat spekulatif, bersumber dari cerita turun-temurun.
Beberapa waktu lalu, pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) pernah datang ke lokasi tersebut untuk melakukan peninjauan awal. Meski belum memberikan hasil kajian secara tertulis, pihak BPCB menyatakan akan melaporkan temuan ini ke pihak terkait, serta akan menyampaikan hasil telaahnya ke Pemerintah Desa Temuireng.
“Kami sudah ajukan permohonan informasi lanjutan. Pemerintah desa berharap bangunan ini bisa diakui secara resmi sebagai bagian dari warisan budaya, agar bisa dirawat dan dijadikan edukasi sejarah bagi generasi muda,” ujar Rizka, salah satu Perangkat Desa Temuireng.
Harapan itu sangat masuk akal, mengingat keberadaan jembatan ini tidak hanya menyimpan nilai historis, namun juga potensi wisata edukatif. Banyak warga yang kini mulai tertarik berkunjung ke lokasi, sekadar untuk berswafoto atau menikmati suasana alam sekitar jembatan yang asri dan tenang.
Ketertarikan masyarakat terhadap bangunan ini turut mendorong semangat pelestarian sejarah lokal. Meskipun tidak tercatat dalam buku sejarah resmi, keberadaan jembatan lori ini bisa menjadi pintu masuk untuk menelusuri jejak industri gula di Klaten pada masa kolonial.
Pabrik gula Gedaren, yang diduga menjadi tujuan akhir pengangkutan tebu dari Temuireng, sendiri telah lama tak beroperasi. Namun keterkaitan antara desa-desa di sekitarnya melalui jaringan lori menunjukkan adanya sistem logistik perkebunan yang cukup maju pada masa itu. Sebuah fakta yang seringkali luput dari perhatian publik.
Kini, Pemerintah Desa Temuireng tengah menyusun rencana untuk memasukkan kawasan jembatan lori ini ke dalam peta potensi wisata sejarah desa. Dukungan dari dinas terkait tentu sangat dibutuhkan, terutama dalam hal pelestarian struktur bangunan dan penyediaan informasi sejarah yang akurat.
“Bangunan ini bukan sekadar batu dan semen. Ini adalah saksi bisu perjalanan desa kami. Kami ingin anak cucu nanti masih bisa melihat dan belajar dari tempat ini,” pungkas Kirno.
Jembatan lori di Temuireng, dengan segala misteri dan keanggunan tuanya, kini menunggu untuk dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Bukan sebagai jalur lori seperti masa lalu, melainkan sebagai jembatan pengetahuan dan kebanggaan sejarah lokal yang tak ternilai. (Soleh Febriyanto)
Lanjutkan membaca bagian 2 pada link berikut ini: